You deserve happiness

Saturday, April 25, 2020

Alasan terbaik untuk berkuliah di Universitas Indonesia

Begini kata Wafi Fannani,


FEUI 2010, Sarjana Ekonomi 2017.
Saya termasuk spesies mahasiswa ‘begajulan' yang rajin bolos kelas, dan saat masuk pun cukup rutin disemprot dosen karena malas. Bagaimana pun pernah berkesempatan untuk melanjutkan studi di UI adalah hal yang amat saya syukuri hingga kini, antara lain karena beberapa alasan sbb:
  1. Nama besar. Mungkin ini adalah keuntungan terbesar dari PTN yang namanya sudah mapan dan wangi seperti UI, UGM, ITB, dan lainnya. Bukan jaminan memang, namun kata “UI” yang tercantum dalam CV turut membantu memberi impresi akan SDA yang berkualitas dan teruji (meski pasti ada anomali), yang sedikit-banyak berpengaruh positif terhadap peluang mendapatkan pekerjaan yang diinginkan.
  2. Jaringan yang tersebar dan mengakar. Tak dapat dipungkiri sebagai salah satu institusi pendidikan tertua dan terbesar di Indonesia, alumni UI secara turun-temurun terbiasa mengisi pos-pos penting dalam tiap sendi vital kehidupan di negeri ini. Baik itu K/L/D/I, BUMN, atau MNC sekali pun, secara umum tidak akan terlalu sulit untuk menemukan alumni UI di dalamnya. Keuntungan serupa seperti poin nomor 1 di atas, karena siapa yang tak mengakui bahwa koneksi seringkali lebih krusial daripada kompetensi?
  3. Lingkungan belajar-mengajar yang kompetitif. Dengan saringan masuk yang ketat, saya akui mayoritas teman sengkatan, senior, mau pun junior saya dulu memang berotak encer dan kompetitif (saya tidak tahu mengenai angkatan 1–2 tahun terakhir). Membantu menempa mental agar terbiasa berpacu menjadi sang jawara, meski tidak jarang pula justru ‘menelan korban' dari situasi kelas yang kadang-kadang bisa agak panas. Saya bersyukur akhirnya bisa tembus survival of the fittest di belantara kampus meski berada di bottom of the food chain. Sebuah pengalaman seharga harta karun bagi saya karena semut belum tentu pasti kalah dari gajah.
  4. Dosen terbaik (meski tentu tidak semuanya). Salah satu kebanggaan eks-mahasiswa ‘serampangan' ini adalah pernah disirami ilmu pengetahuan oleh para ekonom terbaik bangsa Indonesia, diantaranya: Bapak Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Bapak Sri Edi Swasono, Bapak Faisal Basri, Ibu Mari Elka Pangestu, Ibu Miranda Swaray Goeltom. Sayangnya saya belum pernah satu ruangan dengan Ibu Sri Mulyani Indrawati. Beliau-beliau tersebut memang luar biasa brilian dan berada di puncak karena suatu alasan, menginspirasi mahasiswa/i agar suatu saat dapat menggantikan posisi di kursinya masing-masing.
  5. Lingkungan alam dan sosial yang kondusif. Keasrian Hutan UI beserta danau-danaunya menyokong suasana belajar-mengajar yang optimal, tak terusik hiruk-pikuk Hutan Beton beserta segala dinamikanya (walau Margonda semakin maju). Secara sosial, mahasiswa baru yang diterima UI lebih besar peluangnya jadi calon presiden daripada calon preman (sekali lagi: pasti ada anomali) karena ujian masuk yang berat menjadi filter secara otomatis. Pendek kata:
“Bertemanlah dengan tukang minyak wangi, jangan dengan pandai besi.” - Nabi Muhammad SAW, HR Bukhari Muslim
“You're the average of the five people you spend the most time with.” - Jim Rohn
Saya percaya alasan 1 dan 2 masih merupakan alasan terbaik untuk berkuliah di UI. Mendongkrak leverage di hadapan calon employer dan tentunya, calon mertua. Memperlebar dan memperkuat ‘safety net' untuk mendapatkan security dalam pekerjaan, finansial, dan kehidupan di masa depan.
Sedikit saran kepada adik-adik yang masih punya kesempatan: usahakan untuk tembus universitas ternama karena benefitnya jelas lebih nyata dibanding universitas belakang pasar yang baru berdiri kemarin sore.
Jika pun belum beruntung, jangan pernah berkecil hati: pada akhirnya universitas tidak terlalu lebih daripada sebuah institusi pendidikan dan IPK kembali merupakan sebuah angka; dimana kampus dan IPK bukan faktor paling penting dalam menentukan masa depan seseorang. Yang saya percaya lebih utama: bangun leverage yang terdiri dari kualitas, kompetensi, kapital, dan koneksi, kemudian utilisasi maksimum.
Sedikit cerita: Saat ini saya bekerja di perusahaan milik junior saya dulu di UI yang IPK-nya lebih rendah dari IPK saya (yang bahkan tidak tembus tiga!) Kenapa bisa? Kembali ke kalimat terakhir pada paragraf di atas.
You're the driver of your own life. Good luck!
-W

No comments:

Post a Comment